Lelaki
berkaca mata minus dengan senyum khasnya ini biasa dipanggil Rori oleh
rekan-rekan guru dan penulis. Lelaki yang sehari-hari mengabdi sebagai guru
Bahasa Indonesia di SMKN 2 Mojokerto ini memang tipikal khas seorang penulis;
sedikit menggunakan bahasa lisan namun riuh dengan karya tulisan. Meski nampak kalem,
lelaki bernama lengkap Mochammad Asrori inilah yang tiga tahun terakhir menjadi
ujung tombak geliat literasi, khususnya sastra di Mojokerto.
Semua
bermula ketika ia diminta menjadi anggota komite sastra Dewan Kesenian
Kabupaten Mojokerto pada 2014. Rasa prihatin dengan minimnya tingkat baca
masyarakat dan peran pemerintah daerah dalam menyokong aktivitas kesenian,
termasuk sastra, membuatnya tergerak menjaga kesinambungan nyala sastra sekecil
apapun. Apalagi melihat beberapa komunitas sastra yang dahulu eksis menopang
geliat sastra Mojokerto telah vakum. Pun mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang
seharusnya bisa menjadi sandaran, lebih mengedepankan penguasaan tata bahasa
dan menganaktirikan pembelajaran sastra.
Prinsip
yang ia pegang sederhana, “Sejauh apapun tujuan, semua dimulai dengan
melangkah.” Langkah kecil namun ajeg yang dijalankannya membuahkan hasil. Sastra
Mojokerto dewasa ini sungguh semarak. Agenda Terminal Sastra yang bulan lalu
mencapai edisi ke-44 merupakan perhelatan sastra yang cukup mapan di tingkat
regional bahkan nasional. Buku-buku sastra lahir tiap bulan. Hanya dalam waktu
tiga tahun terakhir, melalui Serikat Buku, tercatat lebih dari 30 buku sastra
lahir dari penulis-penulis Mojokerto. Beberapa tajuk lain yang ikut menjadi
sarana pemerkuat iklim sastra dijalankan, seperti Kelir (Kelas Literasi
Remaja), Kelana (Kelas literasi Anak), Kemecer (Kelas menulis Cerpen), dan
Ronda Sastra.
Perjalanan kepenulisan lelaki
jebolan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa tahun 2005 ini dimulai di
tahun kedua masa perkuliahan. Ia rajin menulis dan mengirim puisi, cerpen,
esai, dan naskah drama. Sejak itu, karya-karyanya banyak termuat di surat
kabar, buletin, majalah, buku-buku antologi bersama, dan juga memenangkan
beberapa event lomba kepenulisan. Sajak-sajaknya yang liris dan kuat turut memengaruhi cerpen-cerpennya. Karya-karya fiksinya
banyak berkisah persoalan sehari-hari namun dengan kekuatan pada
ketidakterdugaan bagaimana cerita diakhiri.Hingga saat ini ia telah menerbitkan
tiga buku; Kumpulan Puisi Tiga Postur
Kota (2015), Kumpulan Cerpen Jam
Beker di Kepala Laki-Laki (2016), dan Seburut
Perempuan dan Kisah-Kisah Lain (2017).
Dirinya
meyakini bahwa karya tulisan menjadikan kehidupan penulisnya abadi, tak lekang
oleh zaman. Maka ia giat menginjeksi vaksin kepenulisan kepada kawan-kawan
sejawat. Sastra akan lebih efektif dan berkembang jika guru-guru telah melek
sastra. Patut disyukuri, saat ini di Mojokerto melalui Komunitas Sangkar Buku,
telah bermunculan guru-guru penulis. “Saya lebih sepakat menebar vaksin sastra.
Virus itu melemahkan, bahkan mematikan. Tapi virus yang direkonstruksi menjadi
vaksin akan lebih bermanfaat bagi hidup dan kehidupan itu sendiri,” terangnya
memungkas bincang singkat dengan pribadi murah senyum yang bersemangat dan
menginspirasi ini.
_____________________________
SUMBER:
Radar Mojokerto (JAWA POS Group) edisi Senin
Wage, 05 Maret 2018