Selasa, 06 Maret 2018

Mochammad Asrori, Menebar Vaksin danMerawat Ruang Tumbuh Sastra – SALAH SATU PENULIS PRODUKTIF MOJOKERTO



Lelaki berkaca mata minus dengan senyum khasnya ini biasa dipanggil Rori oleh rekan-rekan guru dan penulis. Lelaki yang sehari-hari mengabdi sebagai guru Bahasa Indonesia di SMKN 2 Mojokerto ini memang tipikal khas seorang penulis; sedikit menggunakan bahasa lisan namun riuh dengan karya tulisan. Meski nampak kalem, lelaki bernama lengkap Mochammad Asrori inilah yang tiga tahun terakhir menjadi ujung tombak geliat literasi, khususnya sastra di Mojokerto.

Semua bermula ketika ia diminta menjadi anggota komite sastra Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto pada 2014. Rasa prihatin dengan minimnya tingkat baca masyarakat dan peran pemerintah daerah dalam menyokong aktivitas kesenian, termasuk sastra, membuatnya tergerak menjaga kesinambungan nyala sastra sekecil apapun. Apalagi melihat beberapa komunitas sastra yang dahulu eksis menopang geliat sastra Mojokerto telah vakum. Pun mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang seharusnya bisa menjadi sandaran, lebih mengedepankan penguasaan tata bahasa dan menganaktirikan pembelajaran sastra.

Prinsip yang ia pegang sederhana, “Sejauh apapun tujuan, semua dimulai dengan melangkah.” Langkah kecil namun ajeg yang dijalankannya membuahkan hasil. Sastra Mojokerto dewasa ini sungguh semarak. Agenda Terminal Sastra yang bulan lalu mencapai edisi ke-44 merupakan perhelatan sastra yang cukup mapan di tingkat regional bahkan nasional. Buku-buku sastra lahir tiap bulan. Hanya dalam waktu tiga tahun terakhir, melalui Serikat Buku, tercatat lebih dari 30 buku sastra lahir dari penulis-penulis Mojokerto. Beberapa tajuk lain yang ikut menjadi sarana pemerkuat iklim sastra dijalankan, seperti Kelir (Kelas Literasi Remaja), Kelana (Kelas literasi Anak), Kemecer (Kelas menulis Cerpen), dan Ronda Sastra.

Perjalanan kepenulisan lelaki jebolan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa tahun 2005 ini dimulai di tahun kedua masa perkuliahan. Ia rajin menulis dan mengirim puisi, cerpen, esai, dan naskah drama. Sejak itu, karya-karyanya banyak termuat di surat kabar, buletin, majalah, buku-buku antologi bersama, dan juga memenangkan beberapa event lomba kepenulisan. Sajak-sajaknya yang liris dan kuat turut memengaruhi cerpen-cerpennya. Karya-karya fiksinya banyak berkisah persoalan sehari-hari namun dengan kekuatan pada ketidakterdugaan bagaimana cerita diakhiri.Hingga saat ini ia telah menerbitkan tiga buku; Kumpulan Puisi Tiga Postur Kota (2015), Kumpulan Cerpen Jam Beker di Kepala Laki-Laki (2016), dan Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain (2017).
Dirinya meyakini bahwa karya tulisan menjadikan kehidupan penulisnya abadi, tak lekang oleh zaman. Maka ia giat menginjeksi vaksin kepenulisan kepada kawan-kawan sejawat. Sastra akan lebih efektif dan berkembang jika guru-guru telah melek sastra. Patut disyukuri, saat ini di Mojokerto melalui Komunitas Sangkar Buku, telah bermunculan guru-guru penulis. “Saya lebih sepakat menebar vaksin sastra. Virus itu melemahkan, bahkan mematikan. Tapi virus yang direkonstruksi menjadi vaksin akan lebih bermanfaat bagi hidup dan kehidupan itu sendiri,” terangnya memungkas bincang singkat dengan pribadi murah senyum yang bersemangat dan menginspirasi ini.
_____________________________

SUMBER: Radar Mojokerto (JAWA POS Group) edisi Senin Wage, 05 Maret 2018