Seperti Review
Buku “Mak, Ana Asu Mlebu nGomah!”
Oleh Anjrah
Lelono Broto *)
“Kita semua harus menerima kenyataan, tapi
menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi
berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau
tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai
kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”
(Pramoedya
Ananta Toer, House of Glass)
Keistimewaan Buku
Ini dan Agenda Ini
…..Didaulat
untuk menjadi pengulas dalam sebuah agenda bedah buku di masa keemasan literasi
dewasa ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Menjawab tantangan mengunggah
cover buku selama sepekan di media sosial pun bisa membuat pemilik akunnya
mendadak didaulat untuk mengulas buku. Tidak malu untuk menulis puisi esai dan
menerima penobatan seorang Denny JA sebagai tokoh sastrawan yang berpengaruh di
zaman now pun dapat menghadirkan
dirinya sebagai pengulas buku. Tetapi, didaulat menjadi pengulas buku ini di
dalam agenda ini, bagi saya pribadi boleh dibilang ISTIMEWA sekali.
Lalu, ada apa dengan buku ini dan agenda
ini?
Buku ini, buku yang didaulat untuk saya
ulas adalah sebuah buku karya Andy Sri Wahyudi, kelahiran Mijen, Minggiran,
Mantrijeron, Yogyakarta. Dalam buku ini terdapat tiga naskah repertoar teater
berbahasa Jawa. Maka menjadi tinemu nalar
ketika buku ini kemudian meraih Penghargaan Sastra Balai Bahasa Yogyakarta 2017
kategori Karya Sastra Jawa Terbaik. Menjadi pengulas buku ini tentu saja sangat
istimewa, mengingat pacekliknya naskah-naskah pertunjukkan teater belakangan
ini, terutama yang menggunakan bahasa Jawa sebagai medianya. Apalagi ketika
mengetahui, betapa seorang Barbara Hatley pun sudi menulis Pengantar dan Ikun
Sri Kuncoro menulis Penutup buku ini. Belum lagi sederet nama-nama besar dalam
jagad teater, sastra, maupun peta kesenian Yogyakarta seperti Joned Suryatmoko,
Ahmad Jalidu, Gunawan Maryanto, dll yang menulis endorsement buku ini. Begitu istimewanya buku ini, hingga saya
menuliskan judulnya pun harus di akhir paragraf ini; “Mak, Ana Asu Mlebu nGomah!” (Ibu, Ada Anjing Masuk ke Dalam Rumah,
terjemahan).
Sedang agenda ini sendiri tak kalah
istimewanya. Tersebutlah seorang Andhi Setya Wibowo (Cak Kephix), jebolan
Universitas Muhammadiyah Malang yang kini bergiat di Komunitas Suket Indonesia,
di usianya yang menginjak kepala empat mendapatkan hidayah untuk menciptakan
forum diskusi sastra. Hingga kemudian CEO Waroeng Boenga Ketjil ini pun
menggelar agenda periodik bertajuk “SelaSastra”, sebuah agenda bulanan yang
senantiasa dilaksanakan pada hari Selasa, kecuali jika ada pemadaman listrik, banjir,
maupun penthil muser (angin puting beliung).
Agenda SelaSastra edisi ke-26 (06-03-2018) inilah yang menempatkan buku di atas
sebagai objek telaahnya. Karena buku yang ditelaah bersama menggunakan media
bahasa Jawa, maka ada keharusan bagi pengulas, narasumber, moderator, maupun
peserta diskusi untuk mempergunakan bahasa Jawa dalam komunikasi lisannya. Sebagai
pengulas, saya juga diwajibkan untuk menulis makalah dengan mempergunakan
bahasa Jawa.
Bagaimana? Istimewa bukan?
Sejarah yang
Membayangi dan yang Dibuat
Seperti halnya dengan apa yang saya
sampaikan dalam makalah berbahasa Jawa saya yang berjudul “Kepethuk Bathuk” (Pertemuan Kepala, terjemahan), bayangan (alm)
Bambang Widoyo Sp (Kenthut Gapit) langsung berputar di kepala saya ketika
pertama mengetahui bahwa Andy Sri Wahyudi menggunakan bahasa Jawa dalam
penulisan naskah repertoar teater di buku ini. Hal ini seakan sebuah reflek
mengingat selain “Rol”, “Leng”, maupun“Tuk” yang ditulisnya, sepengetahuan
saya tidak ada karya naskah teater berbahasa Jawa yang berkualitas. Bambang Widoyo
Sp benar-benar seperti sejarah yang senantiasa membayangi gerak-langkah
perjalanan produktifitas naskah teater berbahasa Jawa.
Hadirnya bayangan tersebut dalam kepala
saya ternyata tidak berlebihan, Barbara Hatley dalam Pengantar buku ini pun
menyenggol kegenialan Bambang Widoyo Sp dalam penulisan naskah teater berbahasa
Jawa. Hal ini pula diakui oleh Andy Sri Wahyudi, bahwa dalam perjalanan proses
kreatifnya, dirinya juga pernah membaca-memainkan naskah-naskah Bambang Widoyo
Sp. Walaupun dirinya menolak disebut sebagai epigon, tetapi dirinya juga tidak
memungkiri betapa Bambang Widoyo Sp-lah yang juga memberikannya gambaran
konkret sebuah naskah teater berbahasa Jawa dan menginspirasi untuk membuat
karya serupa tapi dengan modal literatur mindset
generasi serta asupan lingkungan sosial-politik-budaya yang berbeda. Bahkan,
dalam diskusi istimewa tersebut, tanpa mengecilkan seorang Bambang Widoyo Sp, Andy
Sri Wahyudi lantang berkata andai kelahirannya lebih dulu maka karyanyalah yang
membayang-bayangi dalam perjalanan sejarah penulisan naskah repertoar teater
berbahasa Jawa. Bukan “Rol”, “Leng”, maupun“Tuk”.
Dalam buku ini terdapat tiga naskah
repertoar teater. Selain, “Mak, Ana Asu
Mlebu nGomah” sendiri, juga ada “Lelakon”
dan “Ora Isa Mati”. Tiga naskah repertoar
teater ini cenderung menyampaikan keoptimisan dalam melakoni hidup. Kepahitan
penderitaan dalam hidup dan berkehidupan yang mencuat sebagai tema cerita tidak
serta-merta menampilkan aura nglayung (mengeluh
dan mengharapkan kematian sebagai solusi akhir, terjemahan saya) plus udan tangis (penuh kenestapaan,
terjemahan) sebagimana yang berkali dihadirkan dalam karya-karya Bambang Widoyo
Sp dalam catatan sejarah sebelumnya.
Naskah “Lelakon”
secara lugas menyampaikan pesan bahwa hidup harus dijalani dengan kepala
dingin, dengan pikiran yang waras, dan trengginas
dalam mengambil inisiatif solusi. Betapa tokoh Samsinah yang terpinggirkan
dalam kelola-mengelola usaha Keluarga Lukito (orang tua tokoh Nanang) tidak
menyerah dan membanjirkan keluh-kesah. Sedang di naskah “Mak, Ana Asu Mlebu nGomah!” kegetiran hidup karena menjadi korban
penggusuran oleh Pengembang “Asu”
Perumahan tidak bermuara pada nglayung
tanpa kendhat tetapi dihadapi dengan ketegaran dan keyakinan betapa
kekalahan fisik tidak harus diikuti dengan kekalahan batin. Warga yang tergusur
memilih membawa pergi maesan (nisan) makam
sesepuh desa sebagai simbol ketidakmatian nurani. Optimisme ini semakin runcing
diraut dalam naskah ketiga dalam buku ini; “Ora
Isa Mati”. Orasi tokoh Ganang di bagian akhir menjadi petanda bahwa
kedirian kita sebagai manusialah yang membuat kita tetap hidup dalam pemaknaan
yang lebih luas.
Sekali lagi, sebagimana yang saya
sampaikan dalam makalah saya di agenda istimewa ini, melalui buku istimewa ini
seakan Andy Sri Wahyudi mengajak kita untuk tidak selamanya tenggelam dalam
bayangan sejarah masa lalu dan tak memiliki bayangan tentang masa depan. Mengetahui
sejarah itu perlu, namun memuja-mujanya secara berlebihan, mengotak-atiknya,
serta menjadikannya komoditi pro-kontra bukanlah bijak bagi saya. Andy Sri Wahyudi
dengan buku istimewanya menginspirasi kita semua untuk membuat sejarah sendiri
yang tak kalah istimewanya.
Saya ucapkan selamat kepada Andy Sri
Wahyudi atas buku istimewanya, dan terima kasih kepada Andhi Setyo Wibowo atas
pendaulatannya dalam agenda istimewanya. Sungguh, kami yang membaca buku ini
dan hadir dalam agenda ini merasa begitu istimewa.
--- oo0oo ---
Trowulan, 08 Maret
2018
*) Penggagas dan
Kerani Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LS3)
Catatan:
Tentang
jalannya diskusi dalam agenda “SelaSastra edisi ke-26” yang berkualitas,
komunikatif, dan dihadiri kawan-kawan selain dari Jombang sendiri, juga ada
yang dari Nganjuk, Tuban, Mojokerto, dll, akan saya tuturkan dalam tulisan yang
berbeda.