Kamis, 08 Maret 2018

SEJARAH MILIK KITA YANG BERBUAT



Seperti Review Buku “Mak, Ana Asu Mlebu nGomah!”
Oleh Anjrah Lelono Broto *)

     “Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”
(Pramoedya Ananta Toer, House of Glass)

Keistimewaan Buku Ini dan Agenda Ini
…..Didaulat untuk menjadi pengulas dalam sebuah agenda bedah buku di masa keemasan literasi dewasa ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Menjawab tantangan mengunggah cover buku selama sepekan di media sosial pun bisa membuat pemilik akunnya mendadak didaulat untuk mengulas buku. Tidak malu untuk menulis puisi esai dan menerima penobatan seorang Denny JA sebagai tokoh sastrawan yang berpengaruh di zaman now pun dapat menghadirkan dirinya sebagai pengulas buku. Tetapi, didaulat menjadi pengulas buku ini di dalam agenda ini, bagi saya pribadi boleh dibilang ISTIMEWA sekali.
     Lalu, ada apa dengan buku ini dan agenda ini?
     Buku ini, buku yang didaulat untuk saya ulas adalah sebuah buku karya Andy Sri Wahyudi, kelahiran Mijen, Minggiran, Mantrijeron, Yogyakarta. Dalam buku ini terdapat tiga naskah repertoar teater berbahasa Jawa. Maka menjadi tinemu nalar ketika buku ini kemudian meraih Penghargaan Sastra Balai Bahasa Yogyakarta 2017 kategori Karya Sastra Jawa Terbaik. Menjadi pengulas buku ini tentu saja sangat istimewa, mengingat pacekliknya naskah-naskah pertunjukkan teater belakangan ini, terutama yang menggunakan bahasa Jawa sebagai medianya. Apalagi ketika mengetahui, betapa seorang Barbara Hatley pun sudi menulis Pengantar dan Ikun Sri Kuncoro menulis Penutup buku ini. Belum lagi sederet nama-nama besar dalam jagad teater, sastra, maupun peta kesenian Yogyakarta seperti Joned Suryatmoko, Ahmad Jalidu, Gunawan Maryanto, dll yang menulis endorsement buku ini. Begitu istimewanya buku ini, hingga saya menuliskan judulnya pun harus di akhir paragraf ini; “Mak, Ana Asu Mlebu nGomah!” (Ibu, Ada Anjing Masuk ke Dalam Rumah, terjemahan).
     Sedang agenda ini sendiri tak kalah istimewanya. Tersebutlah seorang Andhi Setya Wibowo (Cak Kephix), jebolan Universitas Muhammadiyah Malang yang kini bergiat di Komunitas Suket Indonesia, di usianya yang menginjak kepala empat mendapatkan hidayah untuk menciptakan forum diskusi sastra. Hingga kemudian CEO Waroeng Boenga Ketjil ini pun menggelar agenda periodik bertajuk “SelaSastra”, sebuah agenda bulanan yang senantiasa dilaksanakan pada hari Selasa, kecuali jika ada pemadaman listrik, banjir, maupun penthil muser (angin puting beliung). Agenda SelaSastra edisi ke-26 (06-03-2018) inilah yang menempatkan buku di atas sebagai objek telaahnya. Karena buku yang ditelaah bersama menggunakan media bahasa Jawa, maka ada keharusan bagi pengulas, narasumber, moderator, maupun peserta diskusi untuk mempergunakan bahasa Jawa dalam komunikasi lisannya. Sebagai pengulas, saya juga diwajibkan untuk menulis makalah dengan mempergunakan bahasa Jawa.
     Bagaimana? Istimewa bukan?

Sejarah yang Membayangi dan yang Dibuat
    Seperti halnya dengan apa yang saya sampaikan dalam makalah berbahasa Jawa saya yang berjudul “Kepethuk Bathuk” (Pertemuan Kepala, terjemahan), bayangan (alm) Bambang Widoyo Sp (Kenthut Gapit) langsung berputar di kepala saya ketika pertama mengetahui bahwa Andy Sri Wahyudi menggunakan bahasa Jawa dalam penulisan naskah repertoar teater di buku ini. Hal ini seakan sebuah reflek mengingat selain “Rol”, “Leng”, maupun“Tuk” yang ditulisnya, sepengetahuan saya tidak ada karya naskah teater berbahasa Jawa yang berkualitas. Bambang Widoyo Sp benar-benar seperti sejarah yang senantiasa membayangi gerak-langkah perjalanan produktifitas naskah teater berbahasa Jawa.
     Hadirnya bayangan tersebut dalam kepala saya ternyata tidak berlebihan, Barbara Hatley dalam Pengantar buku ini pun menyenggol kegenialan Bambang Widoyo Sp dalam penulisan naskah teater berbahasa Jawa. Hal ini pula diakui oleh Andy Sri Wahyudi, bahwa dalam perjalanan proses kreatifnya, dirinya juga pernah membaca-memainkan naskah-naskah Bambang Widoyo Sp. Walaupun dirinya menolak disebut sebagai epigon, tetapi dirinya juga tidak memungkiri betapa Bambang Widoyo Sp-lah yang juga memberikannya gambaran konkret sebuah naskah teater berbahasa Jawa dan menginspirasi untuk membuat karya serupa tapi dengan modal literatur mindset generasi serta asupan lingkungan sosial-politik-budaya yang berbeda. Bahkan, dalam diskusi istimewa tersebut, tanpa mengecilkan seorang Bambang Widoyo Sp, Andy Sri Wahyudi lantang berkata andai kelahirannya lebih dulu maka karyanyalah yang membayang-bayangi dalam perjalanan sejarah penulisan naskah repertoar teater berbahasa Jawa. Bukan “Rol”, “Leng”, maupun“Tuk”.
     Dalam buku ini terdapat tiga naskah repertoar teater. Selain, “Mak, Ana Asu Mlebu nGomah” sendiri, juga ada “Lelakon” dan “Ora Isa Mati”. Tiga naskah repertoar teater ini cenderung menyampaikan keoptimisan dalam melakoni hidup. Kepahitan penderitaan dalam hidup dan berkehidupan yang mencuat sebagai tema cerita tidak serta-merta menampilkan aura nglayung (mengeluh dan mengharapkan kematian sebagai solusi akhir, terjemahan saya) plus udan tangis (penuh kenestapaan, terjemahan) sebagimana yang berkali dihadirkan dalam karya-karya Bambang Widoyo Sp dalam catatan sejarah sebelumnya.
     Naskah “Lelakon” secara lugas menyampaikan pesan bahwa hidup harus dijalani dengan kepala dingin, dengan pikiran yang waras, dan trengginas dalam mengambil inisiatif solusi. Betapa tokoh Samsinah yang terpinggirkan dalam kelola-mengelola usaha Keluarga Lukito (orang tua tokoh Nanang) tidak menyerah dan membanjirkan keluh-kesah. Sedang di naskah “Mak, Ana Asu Mlebu nGomah!” kegetiran hidup karena menjadi korban penggusuran oleh Pengembang “Asu” Perumahan tidak bermuara pada nglayung tanpa kendhat tetapi dihadapi dengan ketegaran dan keyakinan betapa kekalahan fisik tidak harus diikuti dengan kekalahan batin. Warga yang tergusur memilih membawa pergi maesan (nisan) makam sesepuh desa sebagai simbol ketidakmatian nurani. Optimisme ini semakin runcing diraut dalam naskah ketiga dalam buku ini; “Ora Isa Mati”. Orasi tokoh Ganang di bagian akhir menjadi petanda bahwa kedirian kita sebagai manusialah yang membuat kita tetap hidup dalam pemaknaan yang lebih luas.
     Sekali lagi, sebagimana yang saya sampaikan dalam makalah saya di agenda istimewa ini, melalui buku istimewa ini seakan Andy Sri Wahyudi mengajak kita untuk tidak selamanya tenggelam dalam bayangan sejarah masa lalu dan tak memiliki bayangan tentang masa depan. Mengetahui sejarah itu perlu, namun memuja-mujanya secara berlebihan, mengotak-atiknya, serta menjadikannya komoditi pro-kontra bukanlah bijak bagi saya. Andy Sri Wahyudi dengan buku istimewanya menginspirasi kita semua untuk membuat sejarah sendiri yang tak kalah istimewanya.
     Saya ucapkan selamat kepada Andy Sri Wahyudi atas buku istimewanya, dan terima kasih kepada Andhi Setyo Wibowo atas pendaulatannya dalam agenda istimewanya. Sungguh, kami yang membaca buku ini dan hadir dalam agenda ini merasa begitu istimewa.
--- oo0oo ---
Trowulan, 08 Maret 2018

*) Penggagas dan Kerani Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LS3)

Catatan:
Tentang jalannya diskusi dalam agenda “SelaSastra edisi ke-26” yang berkualitas, komunikatif, dan dihadiri kawan-kawan selain dari Jombang sendiri, juga ada yang dari Nganjuk, Tuban, Mojokerto, dll, akan saya tuturkan dalam tulisan yang berbeda.